Neobux Neobux The Money Maker

Blog

Mengubah Persepsi Memerangi MALAS

Kalau kita simak. Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud malas adalah tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu, segan, tidak suka, tidak bernafsu. Menunda pekerjaan atau menyelesaikan tugas tapi tidak sesuai waktu yang sudah ditetapkan saja sudah bisa disebut perilaku malas. Muara perilaku ini sudah tentu penurunan produktivitas yang bersangkutan.
Pada era globalisasi, perilaku malas bisa merugikan yang bersangkutan. Sebab pada era itu berlaku sistem nilai “siapa yang mampu dan mau bisa produktif dan menyesuaikan diri”.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Bayangkan saja, prestasi apa atau produktivitas macam apa yang bakal dicapai, bila terus berperilaku malas semacam itu. Tapi perilaku ini bukanlah kartu mati yang tidak bisa diubah.
Hampir setiap orang pernah dihinggapi “penyakit” malas terhadap pekerjaan atau tugas tertentu. Perilaku ini tumbuh lantaran salah persepsi terhadap pekerjaan tersebut. Pengaruhnya sangat besar pada produktivitas. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya?


Motivasi
Seseorang bisa berperilaku malas terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan karena tidak memliki motivasi untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan itu. Dalam psikologi, seseorang berperilaku tertentu karena adanya energi yang mendorongnya untuk berperilaku. Energi inilah yang disebut motivasi, yakni yang mendorong seseorang bertingkah laku mencapai suatu tujuan. “Orang jawa sering menyebutnya sebagai niat ingsun.
Motivasi dipengaruhi oleh suatu sikap yang tedapat dalam diri orang itu. Sikap itu timbul lantaran adanya persepsi atau pemberian makna terhadap suatu objek atau peristiwa. Persepsi atau pemberian makna tersebut ditentukan oleh suatu sistem nilai, yakni suatu patokan untuk berperilaku yang berlaku pada suatu lingkungan tertentu. Sisitem nilai yang tertanam dalam diri seseorang ini dipengaruhi oleh budaya, masyarakat, dan orang tua.
Dalam hal ini, malas belajar, berdiskusi, atau mencari pekerjaan yang ditunjukkan terjadi lantaran tidak memiliki motivasi untuk melakukan tugas. Ini akibat sikap terhadap kegiatan itu negatif atau positif-negatif. Sikap tersebut muncul karena dibenaknya tertanam persepsi yang salah terhadap tugas-tugas yang diberikan. Umpanya, belajar atau berdiskusi itu melelahkan atau tak ada gunaya, dan mencari kerja buang-buang tenaga saja bila tidak punya koneksi. Persepsi semacam itu bisa terjadi kalau lingkungan sekitar yang ada kurang tertanam budaya belajar, berdiskusi, atau hampir semua rekan mereka memperoleh pekerjaan berkat bantuan orang lain atau uang sogok.
Ada suatu contoh di masyarakat antara lain. Salah satu etnis di Indonesia terkenal rajin dan serius dalam bekerja. Perilaku ini muncul lantaran mereka memiliki suatu sistem nilai bahwa kalau ingin hidup layak, mereka harus bekerja keras. Sistem nilai itu telah ditanam oleh orang tua sejak kecil dalam perilaku sehari-hari, baik dalam memarahi, memberi nasihat, atau memberi suatu contoh. Lingkungan budaya etnis ini juga memberi teladan. Mereka yang hidup layak ya karena mereka bekerja keras. Sebaliknya, yang berkekurangan lantaran tidak mau bekerja keras.
Dengan sistem nilai itu, mereka mempunyai persepsi atau memberi makna bahwa pintar menjahit, membuat tahu, atau berdagang, bakal bisa menghidupi mereka. Bukan menyengsarakan. Jadi mereka akan serius dalam melakukan tugas itu. “Mereka percaya, apa saja bisa menjadi duit, asal dikerjakan dengan sungguh-sungguh.”
Dengan begitu, sikap mereka dalam bekerja sangat positif. “Kalau mengerjakan sesuatu, niat mereka sangat kuat, energinya kuat. Akhirnya, mereka berperilaku rajin bekerja.”
Contoh lainnya , karyawan suatu kantor yang “menganut” nilai RMS (rajin malas sama saja) bakal menjadi malas melakukan tugasnya. Ketika pindah ke kantor yang nilai profesionalismenya di junjung tinggi, perilakunya pasti berubah. “Karena di kantor seperti itu sistem nilainya: ‘Kamu bekerja baik, imbalannya baik. Kamu tidak bekerja, prestasi rendah, imbalannya juga rendah, kalau perlu di PHK’. Jadi persepsinya, pekerjaan adalah sesuatu yang bisa meningkatkan penghasilan saya dan bisa menghidupi saya. Karena pemberian maknanya seperti itu, maka sikapnya terhadap suatu pekerjaan jadi positif. Kahirnya, motivasi jadi kuat, kerjanya rajin. Tetapi kalau sikapnya positif, sedangkan lingkungannya tidak mendukung, ada diskriminasi misalnya, sikapnya bisa menjadi negatif, motivasinya berkurang sehingga dia bisa menjadi malas, bahkan keluar.


Bisa diubah
Kalau seseorang malas terhadap suatu pekerjaan, artinya motivasi dia terhadap pekerjaan tersebut sangat rendah. Skikapnya terhadap pekerjaan itu negatif akibat persepesi yang diberikannya terhadap pekerjaan itu kurang baik. Ini lantaran sistem nilai yang ada dalam dirinya membuat dia berperilaku malas untuk melakukan pekerjaan itu. Sementara terhadap pekerjaan lainnya mungkin tidak begitu.
Jadi, perilaku malas adalah hasil suatu bentukan. Artinya, perilaku itu bisa dibentuk kembali menjadi baik atau tidak malas.
Salah satu bukti bahwa perilaku bisa dibentuk lagi bisa ditemukan pada pelaku tindak kriminal seperti pembunuh atau perampok. Ada mantan narapidana kini menjadi tokoh agama atau pengusaha yang baik. Padahal, dulunya mereka perampok, pembunuh, atau pelaku tindak kriminal lain. Atau sebaliknya, orang baik-baik berubah jadi berperilaku buruk.
Pembentukan kembali perilaku seseorang tadi sebetulnya sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya.
Bagi orang tua yang mengalami masalah-masalah kemalasan anak, tak perlu risau. Seseorang yang terlanjur berperilaku malas biasa dibentuk kembali menjadi tidak malas. Namun, itu tergantung anak atau orangnya. “Kalau anaknya masih SD, ya masih mudah dibentuk. Tapi kalau anak remaja umumnya apa yang dikatakan orang tua, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Jadi, yang harus kita bentuk adalah lingkungan teman. Peer group-nya kita rangkul dan pemberian makna terhadap suatu pekerjaan atau sekolah harus kita ubah. Yang tadinya ‘belajar itu suatu kewajiban
Jadi, perilaku manusia pada dasarnya dapat diubah. “Namun, ada hal yang tidak dapat diubah, yakni perilaku-perilaku yang erat kaitannnya dengan fisik. Misalnya, seseorang yang berkaki panjang sebelah. Kalau dia disuruh berperilaku jalan nomal, dia tidak bakal bisa melakukannya. Seseorang yang memiliki penyakit tekanan darah tinggi, dia akan mudah marah atau waswas. Ini juga tidak dapat diubah. Seseorang yang kecerdasannya rendah karena sel-sel otak tidak berkembang dengan baik ketika masih kecil, sulit melakukan pekerjaan yang mengandung pemecah masalah. Jangan beri dia tugas seperti itu.
Solusi dan Teori
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk melakukan pembentukan perilaku seseorang. Teori ini kira-kira senada dengan pepatah “Dia bisa karena bisa.”
Yang paling cocok adalah teori belajar. Bagaimana kita memberikan stimulus (ransangan) supaya terbentuk suatu respons atau perilaku. Bagaimana stimulus itu menjadi cue (stimulus itu dalam dirinya yang mengahkan untuk berbuat), sehingga menmbulkan suatu drive (dorongan) untuk berperilaku. Kalau berhasil, dia akan memdapatkan reward (imbalan).”
Teori kedua ini sering disebut panutan. Dalam teori ini ada stimulus dalam bentuk oral atau visul yang diberikan oleh seorang modal atau tokoh. Stimulus ini disimpan atau diingat, dan suatu saat akan dilakukan sebagai suatu perilaku. Dari tindakannya dia akan mendapatkan suatu reward. “Ini lama-mala menetap”.
Contohnya, dalam suatu keluarga orang tua giat kerja dan selalu menasihati anak untuk mencapai prestasi. Anak, yang melihat orang tuanya bekerja keras (visual) dan sering memberikan nasihat atau cerita (oral) soal perlunya bekerja keras, akan timbul persepsi bahwa sesuatuitu dapat diperoleh dengan kerja keras. Dari sana bakat terbentuk tingkah laku kerja keras dalam diri anak. Bisa jadi pemberian makna atau persepsi soal pentingya belajar, mengikuti diskusi ilmiah, atau berusaha mencari pekerjaan, tidak ditemukan dalam diri sendiri saja.

0 comments:

Posting Komentar

Partner


maen pojok Design by Insight © 2009